Apakah wahyu itu? Arti harfiah dari wahyu adalah isyarat yang cepat dan bersifat rahasia. Makna ini dikuatkan oleh hampir semua ayat-ayat al-Qur’an yang menandai pewahyuan sebagai salah satu proses komunikasi antara Allah dengan makhluk-Nya, baik itu malaikat (QS. 8:12), para Nabi, Rasul, dan pengikut mereka (QS. 14:13; 17:39;19;11; 53:10; 5:111; 4:163, dan masih banyak lagi) yang menjadi makna yang paling umum, termasuk yang dilakukan Allah kepada Ibu Nabi Musa (QS. 28:7), sekawanan lebah (QS. 16:68), dan bahkan kepada langit sebagai objek penciptaan (QS.41:12). Ada beberapa jenis proses komunikasi yang terjadi melalui jalan wahyu, seperti transfer pengetahuan secara langsung (ilqa’), atau pemberitahuan melalui mimpi, dan bahkan ilham.  Oleh karena itu, makna wahyu secara bahasa terkait dengan proses komunikasi, meskipun ada juga yang memahami wahyu sebagai pesan/obyek informasi yang dikomunikasikan (muha). Dengan makna yang terakhir inilah, maka makna wahyu dibatasi secara khusus, sehingga secara istilahi kemudian dipahami sebagai pesan yang terkandung dalam ayat-ayat kitab suci. Alasan pemberian makna terakhir ini sangat terkait dengan pembentukan konsep nubuwwah, utamanya ketika seorang Nabi dikonsepsikan sebagai laki-laki yang menerima wahyu ilahi. Walhasil, makna istilahi yang terbentuk terkesan bersifat ideologis dan dibentuk oleh generasi sarjana muslim belakangan.

Menelusuri makna wahyu yang asli sebagaimana dituturkan dalam al-Qur’an, yang merujuk kepada proses kemunikasi, maka pertanyaan yang timbu dari sini adalah bagaimana konsep komunikasi ini bisa dipahami? Mungkinkah konsep komunikasi yang sangat cepat dan melibatkan dua entitas subjek-objek yang berbeda, misalnya antara Allah yang transenden dengan makhluknya yang immanen ini terjadi? Jika pertanyaan itu dialamatkan kepada kita yang hidup masa sekarang di abad kemajuan tekhnologi, maka fenomena telepon, sms, atau fax, bukanlah suatu hal yang mustahil terjadi dalam hitungan detik dan menyambungkan dua pihak yang berkomunikasi dalam jarak yang berjauhan. Tetapi, apakah proses komunikasi semacam wahyu tersebut dapat dibayangkan terjadinya pada masa pewahyuan al-Qur’an 15 abad yang lalu?

Mari kita bawa pikiran kita pada masa Nabi Muhammad 15 abad yang lalu. Apa yang bisa kita bayangkan tentang sebuah penerimaan informasi secara cepat dan rahasia? Jawabannya secara sosiologis ditemukan pada fenomena keberadaan dan peran tukang tenung dan para penyair. Tukang tenung dan penyair ulung mendapatkan informasi spektakuler tentang ramalan nasib manusia melalui berita yang dicuri dari langit melalui jin sebagai perantara. Begitu juga jin menjadi pemberi inspirasi kepada penyair dalam menggubah syair-syair yang bernilai sastra unggul. Para penyair sering dijuluki “majnun” yang berarti “gila”, atau “dipengaruhi jin”. Fenomena ini sudah dikenal secara merata di seluruh Arabia, di mana para penyair jahiliah terkenal dengan syair-syairnya yang bernilai tinggi, sementara para tukang tenung memiliki ramalan yang jitu tentang masa depan seseorang. Dengan perantara mahkluk halus seperti jin inilah proses komunikasi yang terjadi dari “alam atas” bisa diterima oleh manusia yang menjadi penghuni “alam bawah”. Kerangka berpikir yang sama juga bisa diterapkan dalam memahami konsep “wahyu” dalam Islam.

Bagaimana Islam membentuk konsep wahyu? Manusia/Nabi diyakini menerima informasi atau pesan Tuhan yang disampaikan melalui perantaraan “malaikat”, makhluk ruhaniah yang memiliki karakter sebagai para pesuruh Tuhan (rusul) yang tidak pernah membangkang, selalu patuh (QS. 66:6). Al-Qur’an membantah bila informan yang menjadi perantara Muhammad adalah jin (QS 62:2; 81:22). Oleh karena itulah berita yang dibawakan melalui wahyu yang diterima oleh Muhamamd bersifat terpercaya, sangat pasti kebenarannya, karena pembawanya adalah agen yang terpercaya (ruhul amin). Di sini, wahyu tidak mungkin mengandung kesalahan karena pesan itu benar-benar berasal dari Tuhan, sumber kebenaran, melalui perantara yang terpercaya, dan sampai kepada pribadi yang agung, Muhammad yang sebelum diangkat menjadi nabi juga dijuluki al-Amin, pribadi yang terpercaya. Konsep tentang malaikat dan karakter kenabian yang berdasar pada nilai keterpercayaan inilah yang menopang argumentasi kebenaran al-Qur’an.

Dari semua pertimbangan tersebut di atas, konsep wahyu dalam Islam mengantarkan pada pembentukan doktrin teologis dalam bentuk konsep “rukun iman” yang harus diterima sebagai landasan keyakinan yang mendasari sebuah kebenaran. Di sini, pesan yang disampaikan di dalam kitab suci melalui wahyu merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Tuhan. Intinya kemudian manusia diminta untuk percaya, meski bukan hanya percaya saja, tetapi juga mesti dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa semua alat yang berperan menyampaikan pesan melalui wahyu juga harus dipercaya sebagai syarat kesahihannya. Di sinilah rukun iman memiliki nilai penting dalam Islam. Percaya kepada Allah, sumber wahyu. Percaya kepada malaikat, perantara yang membawakan pesan melalui wahyu. Percaya kepada kitab, isi/pesan/informasi yang diwahyukan itu sendiri. Percaya kepada Rasul, penerima wahyu. Dan kiamat serta takdir sebagai hal pokok yang harus dipercaya sebagai informasi yang dibawa melalui wahyu yang akan terbukti kebenarannya di akhir zaman nanti.

Walhasil, konsep wahyu menjelaskan proses komunikasi yang benar dan terpercaya yang sudah semestinya diterima oleh khalayak yang hidup dalam masyarakat Arabia 15 abad yang lalu. Jika kaum masih ada pihak-pihak yang menolak pesan yang disampaikan oleh Muhammad, yang diterima melalui wahyu, maka faktor pendorongnya bukan lantaran wahyu menjadi proses komunikasi yang rumit dan tidak bisa diterima, tetapi karena secara psikologis para pemuka Quraisy saat itu tidak rela menerima ajaran Muhammad yang menyuarakan persamaan di antara semua manusia. Dari sisi pertimbangan sosial ekonomi, menjadi pengikut Muhammad juga bukanlah pilihan yang mengenakkan, karena kedudukan sosial mereka yang tinggi akan disamakan dengan para bekas budak yang dimerdekakan, di samping mereka juga akan kehilangan pekerjaan dalam melayani kepentingan para peziarah yang datang mengunjungi Ka’bah. Mereka sudah berabad-abad lamanya memetik keuntungan ekonomi dari memberikan suplai air dan penjamin keamanan para peziarah yang datang ke Makkah. Turunnya martabat sosial mereka juga dikhawatirkan akan mempengaruhi hubungan mereka dengan mitra dagangnya di negeri lain. Walhasil, kaum musyrikin Quraisy menolak pewahyuan al-Qur’an semata-mata karena alasan gengsi saja. Wallahu a’lam. []

522px-Cave_Hira

http://anwarsy.wordpress.com/2009/11/02/memahami-konsep-wahyu-2/